Ada
sebuah anekdot, tangis bayi yang baru lahir di Indonesia lebih kencang
dibanding bayi-bayi di Negara lain, karena begitu dia nongol dari perut
ibunya langsung menanggung hutang minimal Rp. 8,3 juta. Mengapa bisa
demikian? Bukankah Negara kita subur dan kaya dengan sumber daya alam ? Semua itu tak lain karena salah urus, semua kekayaan alam dikuras bukan untuk kemakmuran rakyat, tapi dikorupsi.
Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia merupakan praktik yang sistemik
dan ’membudaya’. Lihat saja, ketika ada urusan di kantor-kantor, kita
akan dibuat jengkel dan kesal karena harus menunggu dan menunggu. Urusan
akan lancar kalau kita mau ’nyelipkan amplop’ dari meja ke meja.
Hal itu dianggap suatu kelaziman di lingkungan birokrasi kita. Dan
anehnya masyarakat juga menerima. Bukan hanya di kantor, untuk meraih
jabatan politik seperti jadi DPR, DPRD, Kepala Daerah, selalu diwarnai
dengan money politik, meskipun sulit dibuktikan di pengadilan. Kitapun
mendengar, jutaan hektar hutan yang ditebang secara illegal, triliunan
uang negara ditilep dalam BLBI, diperparah dengan kasus Century yang tak
kunjung usai, pajak dirampas oleh Gayus-gayus, belum lagi anggaran
negara di mark-up setiap tahun di berbagai instansi.
KKN menggerogoti kehidupan bangsa bagaikan kangker ganas, sulit untuk memberantasnya. Bagai lingkaran setan, tak jelas mana ujung pangkalnya. Aparat
penegak keadilan : polisi, jaksa dan hakim, ternyata juga tak luput
dari korupsi. Makanya sekarang ada KPK, tapi sanggupkah KPK menyikat
koruptor-koruptor kelas kakap, yang di belakangnya ada super-super body
yang back-up?
Persoalannya, bagaimana Indonesia
sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, kok bisa sampai
demikian??? Atas dasar ini perkenankan kami menyampaikan Syarahan
al-Qur’an dengan judul ” Merekonstruksi Budaya Korupsi”. Sebelum lebih
jauh membahas judul ini marilah kita simak ayat al-Qur’an surah al-Anfal
ayat 27 yang akan dilantunkan berikut ini.
27.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Hadirin-hadirat yang berbahagia
Mari kita perhatikan ayat di atas, bahwa kata takhunu diulang 2 kali. Pertama la takhunullah war-rasul dan kedua takhunu amanaatikum. Pengulangan ini bermakna at-tanbih,
yakni pentingnya persoalan khiyanah terhadap amanah sama besarnya
dengan khiyanah kepada Allah dan Rasul. Dan adanya larangan terhadap
amanah dalam surah al-Anfal ini, menurut Syaikh Muhammad Thahir bin
'Asyur, mencakup persoalan penggelapan (korupsi, al-ghulul) dalam masalah rampasan perang (فتشمل الغــلول الذى حـاموا حـولـه فى قضــية الأنفــال ).
Dalam
ayat ini Allah SWT melarang kita mengkhiyanati amanah. Dan persoalan
amanah merupakan persoalan besar, karena ketika seseorang diserahi
kepercayaan jabatan dan kekuasaan memimpin suatu lembaga, atau diberi
kekuasaan menduduki jabatan-jabatan publik, berarti di tangannyalah
keberhasilan urusan atau nasib orang banyak itu. Thahir Ibn 'Asyur
dalam Tafsirnya at-Tahrir wat-Tanwir mengatakan :
وحسـبك من رفع شــأن الأمـانة أن كان صاحــبها حقـيقا بولاية أمر المســلمين لأن ولايـة أمر المســلمين أمـانة لهم
Dan
jelaslah bahwa persoalan amanah merupakan persoalan besar, karena
pengemban amanah berari ditangannyalah keberhasilan urusan umat.
Sebuah jabatan tidak bisa dilihat dari status dan fasilitasnya, tapi lihatlah dari kewajiban dan tanggung jawabnya.
Hadirin, hairat....
Kita
tentu sangat prihatin, bahwa cita-cita masyarakat adil makmur masih
jauh. Hingga kini Indonesia masih berada dalam lilitan masalah
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Salah satu pangkal
persoalannya adalah karena Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang
semakin merajalela. Menurut Lembaga Internasional Transparancy, sejak
sepuluh tahun terakhir Indonesia menduduki rangking tiga teratas dalam
korupsi, mengungguli negara-negara yang paling miskin seperti Ethiopia,
Senegal dan Zambia. Menurut Sayed Husein Alatas dalam bukunya Corruption and the Destiny of Asia,
bahwa kita sudah berada pada tahap ketiga, yaitu korupsi sudah dianggap
praktik yang amat menarik sehingga merusak struktur dan nilai
masyarakat. Pada tahap seperti itu, persoalannya adalah bagaimana
memberantas KKN?
Ada 3 langkah strategis yang ingin kami tawarkan, yaitu :
Pertama,
pemberantasan melalui prosedur hukum dan politik tetap harus terus
ditegakkan. Aparat hukum harus berani menegakkan supremasi hukum.
Langkah
kedua, adalah merekontruksi budaya di masyarakat. Yang pertama, kita
harus mengubah budaya yang selama ini dengan mudah mentolerir dan
memaafkan penyimpangan dan kejahatan, termasuk korupsi, kolusi dan
nepotisme. Persoalan ini menyangkut cara pandang, perilaku masyarakat.
Kritik yang pernah dilontarkan Mockhtar Lubis bahwa bangsa Indonesia
bersikap feodal, hipokrit atau munafik serta suka menempuh jalan pintas
untuk meraih sesuatu kini perlu kita renungkan. Juga pandangan Gunnard
Myrdal bahwa kita adalah bangsa yang lunak, lembek atau soft state
yang kurang disipilin, kurang peka terhadap penyimpangan dan lemah
dalam menegakkan hukum patut kita camkan. Kini, untuk merubah budaya
tersebut perlu dibangun pemahaman dan pengamalan agama yang benar dan
substantif serta pelaksanaan ajaran amar ma'ruf nahi munkar secara
konsekuen. Yang kedua, mengubah budaya konsumerisme yang melanda
masyarakat kita. Bukankah korupsi berawal dari nafsu keserakahan manusia
yang tak pernah puas dengan apa yang ia miliki. Gaji dan tunjangan
puluhan juta masih minta dilipatganda. Sudah punya rumah, ingin punya
villa. Sudah punya mobil satu, minta tambah jadi dua. Sudah punya isteri
satu?... itulah sifat manusia yang tak pernah puas dengan apa yang ada.
Padahal Allah SWT telaqh mengajarkan kepada kita untuk hidup sederhana.
Sebagaimana dalam QS.Al Isra 29-30,..
29.
dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal.
30.
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki
dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat
akan hamba-hamba-Nya.
Untuk
merekontruksi budaya itu diperlukan langkah ketiga, yaitu membenahi
kepemimpinan. Konsep tentang kepemimpinan perlu ada definisi ulang.
Dalam Islam, istilah al-imamah, al-imarah atau khalifah, pada dasarnya adalah ta'diyatul-amanah ila ahliha
atau menunaikan amanah kepada yang berhak. Pemimpin harus benar – benar
menunaikan amanah yang diemban dan dipertanggung-jawabkan kepada rakyat
sekaligus kepada Allah SWT. Karena itu, pemimpin harus berlaku adil
dalam mengemban amanah, tidak boleh bersikap aji mumpung sebagai god father yang serba kebal hukum dan can do anything no wrong.
Pemimpin seperti itu tak sesuai dengan al-Qur'an dan tak sejalan dengan
alam demokrasi sekarang ini. Pemimpin hendaknya mencontoh Abu Bakar
saat menerima bai'at sebagai khalifah : Jika kalian melihatku benar
dukunglah aku, dan jika aku menyimpang dan salah, kritik dan luruskan
aku.
Perilaku
pemimpin yang saling asah, asih dan asuh, yang benar-benar mengayomi,
akan bisa menjadi contoh teladan bagi bawahan dan rakyat. Kita berharap
bapak-bapak pemimpin bisa berlaku adil, disiplin, taat hukum, merakyat
dan sederhana.
Hadirin-hadirat .........
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan :
- Kondisi bangsa kita masih dililit berbagai persoalan besar yang salah satu penyebabnya adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih terus merajalela.
- Keberagamaan yang benar dan substantif, yang menerapkan amar ma’ruf nahi munkar dengan tegas, serta menanamkan pola hidup sederhana mempunyai peran strategis untuk membagun budaya baru yang bebas KKN.
- Dengan menerapkan kepemimpinan sesuai dengan konsep al-Qur'an insya Allah akan mampu diwujudkan sistem sosial-budaya yang bebas KKN.
Demikian syarahan kami semoga bermanfaat,
أوصيــكم ونفسي بتقو الله، والســلام عليكم ورحمــة وبركــاته